Masih Ingat Mira W?
Bagi yang mengenyam pendidikan SMP di tahun 2004, nama
ini pasti nggak asing lagi. Novelnya yang berjudul Bukan Cinta Sesaat rajin tampil dalam buku Bahasa Indonesia kita.
Kalau saya nggak salah ingat, di kelas nggak ada yang
tertarik untuk baca novel itu. Pak Rudi,
guru Bahasa Indonesia saya waktu itu juga terlihat nggak semangat tiap kali
kami membaca penggalan cerita itu. Kecuali
saya. Suatu ketika saya paksa bapak saya
untuk pergi ke Gramedia, saya sudah kepalang penasaran soalnya di buku Bahasa
Indonesia yang saya pegang ceritanya terpotong-potong. Banyak bagian yang terlewati.
Alhasil setelah novel ini ada di tangan saya, cuma butuh
satu minggu untuk menuntaskannya. Dan
saya senang sekali bisa menggabungkan kepingan-kepingan cerita yang hilang di
buku Bahasa Indonesia saya.
Terus, ceritanya tentang apa sih?
Untuk yang belum baca, novel ini intinya menceritakan cinta
segitiga antara Rio, Nina, dan Sri. Spoiler alert: Rio cinta sama Nina, Nina
cinta sama Rio, dan Sri cinta sama Rio.
Nah lho! Selain dari alur
ceritanya yang roman picisan banget, sebenarnya novel ini nggak sekedar
cinta-cintaan. Perbedaan etnis di antara para tokoh novel ini menjadi bagian penting dalam alur cerita. Rio diceritakan sebagai orang Medan, Nina orang Cina Peranakan, dan Sri orang Jawa.
Saya lumayan kaget ketika membaca ulang novel ini. Narasi dan percakapan yang terkait dengan sentimen antar ras dibuat segamblang-gamblangnya, selugas-lugasnya. Selain itu, banyak sekali kejadian-kejadian penting dalam novel ini yang
berkaitan dengan sentimen antar ras di Indonesia. Di awal novel misalnya keluarga Nina
diceritakan mengubah nama Tionghoa mereka menjadi nama pribumi. Di tahun 1965, para
tokoh diceritakan berada dalam kemelut peristiwa PKI. Yang paling ngilu, di tahun 1974, Nina, sang
tokoh utama digambarkan sangat patah hati ketika dia menjadi korban Malari;
mobilnya dibakar oleh para demonstran dengan dalih bahwa mobilnya adalah milik
orang Cina.
Ketika saya berumur 14 tahun, tidak terpikir oleh saya betapa kuatnya narasi identitas dalam novel ini (maklum waktu itu KBM saja belum berdiri di UGM – eh). Mira W dengan gamblang menuliskan permasalahan yang rumit ketika wacana etnisitas dihadapkan dalam konteks keberagaman Indonesia. Ini masalah yang jawabannya nggak akan selesai hanya dengan kata pribumi dan non pribumi.
......
"Tapi aku dicina-cinakan, Sri!" tangis Nina pahit.
"Mengapa mereka begitu benci padaku? Aku tidak kenal mereka! Cuma kebetulan tampangku Cina. Darah dan dagingku Indonesia, Sri, sama seperti kamu! Sama seperti mereka!"
...
Ketika saya berumur 14 tahun, tidak terpikir oleh saya betapa kuatnya narasi identitas dalam novel ini (maklum waktu itu KBM saja belum berdiri di UGM – eh). Mira W dengan gamblang menuliskan permasalahan yang rumit ketika wacana etnisitas dihadapkan dalam konteks keberagaman Indonesia. Ini masalah yang jawabannya nggak akan selesai hanya dengan kata pribumi dan non pribumi.
......
"Tapi aku dicina-cinakan, Sri!" tangis Nina pahit.
"Mengapa mereka begitu benci padaku? Aku tidak kenal mereka! Cuma kebetulan tampangku Cina. Darah dan dagingku Indonesia, Sri, sama seperti kamu! Sama seperti mereka!"
...
Mira W boleh dikenal sebagai pengarang yang ceritanya tentang cinta….melulu (masih ingat sinetron Seandainya Aku Boleh Memilih? Hehe), tapi saya sangat mengapresiasi keberanian dia untuk jujur terhadap diskriminasi yang dihadapinya melalui tokoh Nina di novel Bukan Cinta Sesaat ini.
Comments
Post a Comment