Tentang Rasa, Tentang Saya
Saya nggak ingat persis kapan mulai belajar memasak, tapi bisa saya
pastikan siapa penyebabnya: Sisca Soewitomo.
Hampir tiap minggu saya nggak pernah absen untuk duduk manis di depan
televisi dan menyaksikan Aroma di Indosiar. Ujung-ujungnya, ibu saya yang kena apes karena
anak perempuannya sering ngomel kalau makanannya nggak seperti masakan Sisca
Soewitomo. Aduh!
Dunia tata boga itu semacam tempat
berlindung saya ketika hidup ini sedang penat; bisa jadi sarana meditasi untuk
cari inspirasi, atau wujud kegembiraan ketika hati sedang senang. Hobi memasak saya ini lambat laun berkembang
menjadi ketertarikan di dunia rempah-rempah, makanan internasional, dan yang
akhir-akhir ini sering saya intip adalah sejarah makanan di Indonesia.
Karenanya, masalah tata boga itu
bukan sekedar icip-icip, tapi bisa jadi meluas ke mana-mana, dari masalah jender
sampai politik (praktis). Misalnya,
kenapa angkringan itu cenderung banyak ditongkrongi laki-laki? Apakah angkringan
itu identik dengan maskulinitas? Sebaliknya kenapa penjual jamu gendong selalu
perempuan? Memang nggak bisa laki-laki bikin jamu? Kenapa masakan India nggak populer
di Indonesia, padahal kita juga suka makan kari? Di Filipina ada lumpia, di Semarang juga ada
lumpia, kok bisa? Pertanyaan-pertanyaan macam ini sering hinggap dalam pikiran, meski seringnya nggak dapat jawaban yang
memuaskan.
Selain aspek-aspek makro di atas,
saya sebenernya juga agak gemes dengan hal-hal kecil yang mengganggu saya. Yang paling kentara itu ya masalah bahasa. Itu sebabnya setiap kali saya lihat
acara-acara di Food Channel, saya
selalu pusing dengan subtitle-nya. Sebagai contoh, ada nggak sih padanan kata
untuk juicy waktu menjelaskan juicy meat? Atau kata starter untuk menjelaskan yeast starter dalam pembuatan roti? Butter itu jelas berbeda margarine, tapi kenapa banyak orang
menganggap dua hal ini sama? Corn Flour itu
bukan maizena, tapi kenapa maizena itu sering disebut tepung jagung? Terus, bagaimana
menjelaskan kata deglaze? Simmer? Marinate?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membuat saya pusing lihat KBBI. Pantas saja Farah Quinn bicara pakai campuran
Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia waktu dia punya acara dulu.
Walau banyak pertanyaan-pertanyaan
nggak jelas dari dunia ini, sebenernya bagian yang paling asyik dan menantang
itu ya icip-icipnya. Soal rasa itu bukan
cuma manis, asin, asam, pahit, gurih, tapi juga tekstur makanan, kombinasi bahan-bahan, rempah-rempah, teknik
memasak, wah pokoknya banyak.
Saya ingat pertama kali saya makan Korean BBQ di Han Kook Gwan di Bandung dan terkejut dengan rasa ssam dari kombinasi daun shisho yang dipadukan gochujang, bawang putih mentah dan daging babi bakar yang dibumbui selama berjam-jam. Rasanya mulut itu berdendang, ramai sekali. Beruntung waktu itu sang empunya restoran, seorang imigran dari Korea Selatan yang memiliki bisnis tekstil di satu kota di Jawa Barat, berbaik hati untuk membantu saya menggunakan alat bakar mini di meja saya. Saya jadi nggak berhenti memuji masakannya. Sayangnya, restoran ini sudah tutup, dan saya nggak bisa mengulangi pengalaman itu. Pengalaman umami nggak bisa direkam lewat kata-kata atau suara. Saya cuma bisa ingat saja.
Dengan berkembangnya konsep celebrity chef dan acara makanan yang beragam di berbagai media, dunia tata boga menjadi dikenal orang. Favorit saya sepanjang masa tentu adalah Anthony Bourdain. Saya jadi fans berat acaranya yang berjudul Parts Unknown. Dia berani untuk menggabungkan citra dirinya sebagai food critic dan sebagai jurnalis dengan mewawancarai tokoh-tokoh sosial dan politik yang penting dari berbagai negara. Episodenya yang paling berkesan dan terkenal tentu saja waktu dia mengundang Barack Obama untuk bersantap semeja dengan dia, makan bun cha di warung makan kecil di Hanoi. Bagaimana mungkin?
Wah, ternyata Sisca Soewitomo itu seorang u-lama ya, masih pake "oe" bukan "u"
ReplyDelete