MSG Adalah Korban Rasisme!




Bisa jadi, citra negatif yang melekat pada MSG itu berawal dari rasisme....

HUUUHHHH?


***

Syahdan, di suatu malam tahun 1907 ketika Profesor Kikunae Ikeda sedang makan malam dengan keluarganya, kuah sup yang ia santap terasa lebih nikmat dari pada biasanya.  Mengapa gerangan? ternyata dashi yang dimakannya waktu itu memiliki satu komponen yang hingga kini tidak banyak orang tahu: kombuSetelah beberapa uji coba dilaksanakan, ditemukanlah sebuah komponen rasa baru yang tidak manis, tidak pahit, tidak asin, tidak asam: namanya U-M-A-M-I.  Komponen rasa ini kemudian diproduksi dalam bentuk kristal yang sekarang kita kenal dengan MSG.

Singkatnya, kalian-kalian yang suka semua jajanan kaki lima sekitar jalan Kaliurang harus berterimakasih pada Pak Ikeda.  Tanpanya, cilok dan makaroni yang kalian nikmati nggak akan terasa seperti itu.  Iya!

Terus hubungannya sama rasisme apa ya?

Oke, kembali ke sejarah umami.  Setelah penemuannya terkenal dan diakui oleh kalangan foodies di beberapa bagian dunia, MSG mulai dipasarkan secara komersial.  MSG mulai diperjualbelikan di tahun 1909 dan merambah industri makanan di Asia Timur.  Di Amerika, gelombang ini juga mulai datang di dekade 1940an; terutama di restoran-restoran Cina yang memang sudah menjamur dari awal abad ke-20.  Melalui MSG dengan merek AccentPara chef restoran Cina sangat mengagumi kekuatan MSG karena dapat meningkatkan cita rasa masakan mereka; terutama karena pada waktu itu mereka masih memiliki keterbatasan dalam memperoleh bahan-bahan baku dan/atau bumbu-bumbu khas Cina di Amerika.

Hampir setengah abad pasca Profesor Ikeda menemukan MSG, bumbu ini tidak menemui kendala berarti dalam ranah boga di Amerika, namun semuanya berubah ketika pada April 1968 seorang dokter bernama Ho Man Kwok menulis sebuah tulisan "ringan" berjudul Chinese Restaurant Syndrome di The New England Journal of MedicineSaya tidak terlalu mengerti batasan ringan yang ditulis oleh Dr. Ho Man Kwok, karena hingga blog ini diunggah, saya tidak bisa mengakses artikel aslinya.  Meskipun begitu, dari beberapa artikel yang saya baca, inti tulisannya seperti ini:

'I have experienced a strange syndrome whenever I have eaten out in a Chinese restaurant, especially one that served northern Chinese food. The syndrome, which usually begins 15 to 20 minutes after I have eaten the first dish, lasts for about two hours, without hangover effect. The most prominent symptoms are numbness at the back of the neck, gradually radiating to both arms and the back, general weakness and palpitations...'  

Saya nggak tahu motif apa di balik artikel yang "ringan" ini, tapi yang jelas setelah artikel ini dipublikasikan, mulai muncul penelitian-penelitian untuk melihat pengaruh MSG terhadap tubuh manusia. Dan lebih kacaunya lagi, wacana tentang Chinese Restaurant Syndrome ini muncul di permukaan dan dicampuradukkan dengan hubungan yang kompleks atas masyarakat Amerika Serikat dan masyarakat imigran Cina.  Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Kita perlu melihat kapan dan bagaimana gelombang pertama imigran Cina di Amerika Serikat tercatat datang pada era The California Gold Rush di tahun 1800an.  Kedatangan para imigran ini bukan tanpa masalah.  Perbedaan budaya dan sentimen-sentimen xenophobia menghantui keberadaan mereka di Amerika.  Intinya, banyak orang Amerika yang tidak suka dengan imigran Cina; saking tidak sukanya, mereka mengeluarkan The Chinese Exclusion Acts tahun 1882 yang isinya tidak memperbolehkan orang-orang Cina untuk berimigrasi ke Amerika Serikat.  Tahun 1882 itu hanya terpaut 86 tahun dari tahun 1968! Bisa kalian bayangkan bagaimana berita yang ditulis oleh Dr Kwok tersebut memengaruhi reputasi restoran-restoran masakan Cina di Amerika, lebih parah lagi, masyarakat (keturunan) Cina yang tinggal di Amerika. Konon, ada juga orang yang kemudian membenarkan artikel tersebut sebagai bukti omongan-omongan tentang restoran Cina di Amerika.  Entah gosip apa yang mereka rujuk tentang omongan ini, yang jelas waktu itu banyak restoran-restoran Cina yang menjadi korban atas publisitas artikel Dr. Kwok.

Sebagai efek domino dari tulisan The Chinese Syndrome, beberapa penelitian di Amerika waktu itu mulai difokuskan pada efek MSG.  Nah, satu temuan yang mungkin menjadi missing link antara MSG dan mitos di Indonesia tentang efeknya yang membuat bodoh anak-anak adalah sebagai berikut:

Di tahun 1969, seorang dokter dari Washington University melakukan percobaan dengan memasukkan sekian gram MSG ke tubuh beberapa ekor tikus.  Hasil penelitiannya, ada pengurangan otak terhadap tikus-tikus tersebut dan kemudian dia membuat klaim bahwa hal yang sama akan terjadi pada otak seorang anak berusia dua tahun.

Beberapa penelitian lanjutan yang lebih komprehensif kemudian membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi MSG terhadap fungsi otak manusia (teman-teman bisa cari di berbagai penelitian, beneran deh), lha wong sudah disetujui oleh FDA (BPOM-nya Amrik) pemerintah Amerika Serikat dari dulu hingga sekarang.  Tapi apa daya, kabar sudah kadung tersebar, dan hingga saat ini mitos tentang MSG masih tersebar dengan suburnya di berbagai belahan dunia, TERUTAMA: Indonesia.

Melalui Ajinomoto, MSG pertama kali hadir di Indonesia di tahun 1969, satu tahun setelah artikel The Chinese Syndrome dipublikasikan.  Saya tidak bisa menelusuri bagaimana mitos tentang MSG ini kemudian bisa menyebar di Indonesia dan mengapa MSG masih tumbuh subur meski stereotipe negatif ini tidak reda juga.  Ini missing link yang harus saya cari lebih jauh lagi.

Yang jelas, ini satu hal yang membuat saya terkejut dengan MSG.  Bukan lagi perang klaim; Ini adalah perang wacana!

HIDUP MSG!


Catatan: 


1. Tulisan ini banyak bersumber dari artikel-artikel yang berusaha untuk memecahkan mitos tentang MSG.  Untuk verifikasinya dapat dilihat laman-laman di bawah ini:

Yes, MSG Behind The Savor
Laman Ajinomoto
How MSG Hysteria Became a Chinese Food Problem
The Notorious MSG
If MSG is so bad for you, why doesn't everyone in Asia have a headache?
MSG Gastronomica

2. Jika kalian punya informasi lebih lanjut, ayo saling berbagi!




sumber foto: di sini


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

That Time When I Crossed The Malaysian landborder

Makan Film dengan Babish